Selasa, 24 Februari 2009

PENERAPAN HACCP PADA USAHA AGRIBISNIS KECIL/ MENENGAH

I. PENDAHULUAN

Pada prinsipnya usaha agribisnis merupakan usaha komersial di bidang pertanian dalam arti luas baik hulu (produksi dan distribusi sarana dan alat pertanian) maupun hilir (pengolahan dan pemasarannya) serta segala kegiatan penunjangnya seperti kredit, konsultasi dan transportasi. Agribisnis mempunyai peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. Usaha agribisnis berpotensi stratesis mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermatapencaharian di bidang pertanian (negara agraris), penyumbang devisa terbesar nonmigas, ketergantungan akan import sangat rendah, dan dapat membuka peluang kerja yang lebar. Sehingga sangat disayangkan bila agribisnis masih dipandang sebelah mata.
Keamanan produk agribisnis sudah bukan menjadi hal yang baru lagi. Konsumen telah berubah cara pandangnya terhadap suatu produk yang akan dikonsumsi. Selain harga, mutu dan keamanan produk juga telah menjadi hal penting yang mendapat perhatian mengingat hasil dari produk agribisnis merupakan bahan pangan yang langsung dikonsumsi oleh manusia. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi produsen. Bukan hal yang sulit untuk dilakukan karena berbagai aturan telah diterbitkan baik oleh pemerintah di dalam negeri maupun peraturan tingkat dunia. Codex Alimentarius Commision (CAC) telah merekomendasikan penggunaan sistem manajemen keamanan pangan : Hazard Analysis Critical Control Points/HACCP (Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis) untuk menjamin keamanan produk pangan. Indonesia menerapkan HACCP sebagai salah satu sistem jaminan mutu yang telah memenuhi regulasi pangan internasional, yang dilaksanakan dalam rantai produksi sejak bahan baku dipanen sampai kepada konsumen sebagai muara terakhir.







II. PERMASALAHAN

Akhir-akhir ini, keamanan pangan banyak menyita perhatian masyarakat. Suatu produk akan dianggap baik oleh konsumen bukan hanya baik secara organoleptik namun keamanan juga dipertimbangkan. Apalagi produk pertanian mempunyai sifat yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi secara fisik, kimia, biologi dan mikrobiologi bila tidak diolah dengan menerapkan cara penanganan yang baik. Kasus keracunan yang semakin meningkat jumlahnya serta banyaknya penolakan terhadap produk asal Indonesia oleh negara pengimport bukanlah hal sepele. Keamanan produk pangan menjadi sangat penting, khususnya dalam rangka meningkatkan daya saing produk di era persaingan pasar global. Persaingan tidak hanya terjadi pada perdagangan di pasar Internasional tetapi juga pada perdagangan di pasar domestik dengan produk dari luar.
Sebagai negara dalam tahap berkembang menuju negara maju, pertumbuhan industri kecil menengah di Indonesia sangatlah pesat. Namun sayangnya industri kecil menengah ini lebih banyak terfokus pada peningkatan laba dan sebagian besar masih mengabaikan keamanan produk yang dihasilkan. Kondisi inilah yang sayangnya terus ”dipertahankan” dari waktu ke waktu. Terlebih lagi dengan semakin meningkatnya harga bahan baku, peningkatan upah karyawan yang selalu berubah setiap tahunnya serta hal lain yang menyertainya seperti pajak, peningkatan BBM, listrik yang dirasa selalu memberatkan seakan menjadi jurus ampuh untuk mengelak dari kewajiban dalam pemenuhan keselamatan konsumen.
Menurut data dari Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, jumlah keracunan meningkat setiap tahunnya. Sebagai contoh pada tahun 2005 jumlah keracunan 592 kasus sedangkan tahun 2006 meningkat menjadi 726 kasus. Sebagian besar keracunan disebabkan oleh mikrobia dalam pangan yang disajikan oleh katering yang sebagian besar merupakan industri kecil. Selain itu banyaknya kasus penolakan eksport produk Indonesia oleh beberapa negara juga pernah dialami bahkan sampai sekarang masih menjadi bahan kajian beberapa pihak. Banyak hal yang menyebabkan produk kita sukar untuk diterima oleh negara lain, di antaranya terkontaminasi serangga, salmonella, residu logam berat, antibiotik, lalat buah, food additives yang tidak sesuai standard, kontaminasi mikrobiologi dan aflatoksin serta alasan perlindungan kesehatan konsumen selain itu faktor labelling yang dinilai membingungkan konsumen atau tidak mengikuti standar internasional.
III. ISI

3.1. Pengertian dan Elemen- Elemen HACCP
Keamanan pangan hasil produk pertanian dapat dicapai dengan cara penanganan yang benar, bahan baku yang baik, sehingga produk dapat terjamin dan aman untuk dikonsumsi. HACCP telah lama di kenal oleh industri, terutama di tingkat industri besar. Dalam menyusun rencana HACCP harus dudukung oleh good practices yang kuat (Good Agricultural Practices, Good Hygienic Practices, Good Manufacturing Practices, Good Distribution Practices). Namun sayangnya, industri kecil belum mampu menerapkannya sehingga baru menjangkau industri skala menengah besar. Manajemen keamanan pangan berbasis HACCP menerapkan 7 kegiatan yang harus dilakukan, yaitu :
a. Identifikasi titik di mana terdapat bahaya beresiko tinggi dan tindakan pengendaliannya
Pada bagian ini mempelajari jenis -jenis mikroorganisme, bahan kimia dan benda asing terkait yang harus didefinisikan. Untuk dapat melakukan ini, tim harus memeriksa karakteristik produk serta bahaya yang akan timbul waktu dikonsumsi oleh konsumen. Terdapat tiga bahaya (hazard) yang dapat menyebabkan makanan menjadi tidak aman untuk dikonsum si, yaitu hazard fisik, kimia, dan biologi. Bahaya fisik termasuk benda -benda seperti pecahan logam, gelas, batu, yang dapat menimbulkan luka di mulut, gigi patah, tercekik ataupun perlukaan pada saluran pencernakan. Bahaya kimia antara lain pestisida, za t pembersih, antibiotik, logam berat, dan bahan tambahan makanan. Bahaya biologi antara lain mikroba patogen (parasit, bakteri), tanaman, dan hewan beracun.

b. Menerapkan titik-titik tersebut yang merupakan Critical Control Points (CCP)
Critical Control Points (CCP) ditetapkan pada setiap tahap proses mulai dari awal produksi suatau makanan hingga sampai ke konsumsi. Pada setiap tahap ditetapkan jumlah CCP untuk bahaya mirobiologis, kimia, maupun fisik. Pada beberapa produk pangan, formulasi makanan mempengaruhi tingkat keamanan nya, oleh karena itu CCP pada produk semacam ini diperlukan untuk mengontrol beberapa parameter seperti pH, aktivitas air (aw), dan adanya bahan tambahan makanan.



c. Menerapkan batas kritis (critical limit)
Batas kritis adalah nilai yang memisahkan antara nilai yang dapat diterima dengan nilai yang tidak dapat diterima pada setiap CCP. Titik pengendalian kritis (CCP) dapat merupakan bahan mentah/baku, sebuah lokasi, suatu tahap pengolahan, praktek atau prosedur kerja, namun harus spesifik,

d. Menetapkan prosedur pemantauan
Dalam sistem HACCP, pemantauan atau monitoring didefinisikan sebagai pengecekan bahwa suatu prosedur pengolahan dan penanganan pada CCP dapat dikendalikan atau pengujian dan pengamatan yang terjadwal terhadap efektivitas proses untuk mengendalikan CCP dan limit kritisnya dalam menjamin keamanan produk. Biasanya perlu juga dicantumkan frekuensi pemantauan yang ditentukan berdasarkan pertimbangan praktis. Lima macam pemantauan yang penting dilaksanakan antara lain: pengamatan, evaluasi, sensorik, pengukuran sifat fisik, pengujian kimia, pengujian mikrobiologi.

e. Menetapkan tindakan koreksi jika hasil peantauan tidak sesuai dengan critical limit,
Tindakan perbaikan adalah kegiatan yang dilakukan bila berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas kritis tertentu atau nilai target tertentu atau ketika hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kurangnya pengendalian. Secara umum, data tentang pemantauan harus diperiksa secara sistematis untuk menentukan titik dimana pengendalian harus ditingkatkan atau apakah modifikasi lain diperlukan. Dalam hal ini, sistem dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi dengan cara penyesuaian yang berkesinambungan

f. Verifikasi
Sistem verifikasi mencakup berbagai aktifitas seperti inspeksi, penggunaan metode klasik mikrobiologis dan kimiawi dalam menguji pencemaran pada produk akhir untuk memastikan hasil pemantauan dan menelaah keluhan konsumen. Contoh produk yang diperiksa dapat digunakan untuk memeriksa keefektifan sistem. Namun demikian verifikasi tidak pernah menggantikan pemantauan. Verifikasi hanya dapat memberikan tambahan informasi untuk meyakinkan kembali kepada produsen bahwa
penerapan HACCP akan menghasilkan produksi makanan yang aman

g. Dokumentasi
Penyimpanan data merupakan bagian penting pada HACCP. Penyimpanan data dapat meyakinkan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modikasi, dan operasi sitem akan dapat diperoleh oleh siapapaun yang terlibat proses, juga dari pihak luar (auditor). Penyimpanan data membantu meyakinkan bahwa sistem tetap berkesinambungan dalam jangka panjang. Data harus meliputi penjelasan bagaimana CCP didefinisikan, pemberian prosedur pengendalian dan modifikasi sistem, pemantauan, dan verifikasi data serta catatan penyimpangan dari prosedur normal.

3.2. Aktivitas Penerapan HACCP pada Industri Kecil Pengolahan Pangan

Sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan penting dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk pangan, yaitu : (1) keamanan pangan (food safety), yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit; (2) kesehatan dan kebersihan pangan (whole-someness), merupakan karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene; (3) kecurangan ekonomi (economic fraud), yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang dapat merugikan konsumen. Tindakan ini antara lain meliputi pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan label, “overglazing” dan jumlah yang kurang dalam kemasan.

Industri pangan sebagai bagian dari industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer – (pengangkutan) – pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian pengelolaan kegiatan pengendalian mutu total pada aspek rancangan, produksi dan produktivitas serta pemasaran.Berbagai penerapan prinsip HACCP yang dapat diterapkan pada industri kecil pengolahan pangan adalah sebagai berikut :

1. Pengolahan hasil Peternakan
Produk peternakan mempunyai sifat yang mudah rusak. Hal ini karena kandungan gizi terutama protein dan lemak serta air yang tinggi sehingga merupakan habitat yang sangat disukai oleh mikrobia pembusuk dan mikrobia yang hidup dalam ternak saat masih hidup. Selain itu cemaran pada produk asal ternak juga sulit untuk di hindari seperti cemaran kimia seperti residu antibiotik dan fisik seperti pecahan kaca. HACCP pada produk hasil ternak dapat dimulai dari pra produksi, produksi sampai dengan pasca produksi dengan urut-urutan tertentu. Indonesia telah mempunyai beberapa standar nasional yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak yang diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan produk pangan asal ternak, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal ternak (Badan Standarisasi Nasional 2000). Selain itu juga telah ada berbagai kebijakan dan peraturan baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan menteri serta perangkat lainnya. Peraturan Pemerintah No 22 tahun 1982 tentang kesehatan masyarakat veteriner merupakan salah satu perangkat dalam pelaksanaan Undang-Undang No 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dalam peraturan pemerintah tersebut dinyatakan pentingnya pengamanan bahan pangan asal ternak serta pencegahan penularan penyakit zoonosis, serta perlunya menjaga keamanan bahan pangan asal ternak dengan melindunginya dari pencemaran dan kontaminasi serta kerusakan akibat penanganan yang kurang higienis.
Penerapan HACCP dapat dimulai dari kendang atau tempat pemeliharaan ternak. Manajemen peternakan yang baik, lingkungan sekitar peternakan serta cemaran yang berada di sekitar peternakan akan sanat mempengaruhi kualitas yang dihasilkan. Keamanan pangan asal ternak sangat berkaitan dengan kualitas pakan yang dihasilkan. Jenis dan asal pakan harus diketahui, penyimpanan yang baik dengan menjaga kelembaban gudang agar tidak menjadi tempat tumbuhnya jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin dan aflatoksin yang dapat terdeteksi pada susu dan berbahaya bagi kesehatan manusia, serta residu pestisida yang ditemukan karena pakan dari hijauan yang mengandung banyak pestisida. Selain itu patut diwaspadai pula zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia melalui pangan asal ternak, baik zoonosis bakteri, virus, parasit maupun zoonosis yang disebabkan oleh prion seperti Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau yang dikenal sebagai penyakit sapi gila. Merebaknya BSE di beberapa negara beberapa tahun yang lalu menyebabkan Pemerintah Indonesia melarang impor produk ternak dan olahannya dari negara yang pernah terjangkit penyakit sapi gila.
Transportasi dan penyimpanan merupakan titik penting dalam pengendalian proses penanganan hasil ternak. Mengingat produk hasil peternakan sangat mudah rusak maka fasilitas pendingin sangat diperlukan apabila jarak angkut jauh dan memakan waktu lama. Penyimpanan pada suhu ruang sangat berbahaya karena merupakan suhu optimum pertumbuhan mikrobia patogen dan nonpatogen. Pengolahan produk ternak merupakan muara sebelum hasil dikonsumsi. Pada dasarnya pengolahan produk ternak bertujuan meningkatkan kualitas, memperpanjang masa simpan, serta meningkatkan rasa, penampilan dan nilai jual. Pengolahan juga dimaksudkan untuk mempertahankan keamanan produk karena pertumbuhan mikrobia. Jaminan keamanan pangan pada industri pengolahan pada umumnya sudah cukup baik dibandingkan pada tingkat peternak. Konsep HACCP belum diterapkan pada RPA tradisional di beberapa daerah di Indonesia yang disebabkan sarana yang belum tersedia. Dibandingkan dengan konsep HACCP hanya 50 % yang telah diterapkan sehingga hanya 50 % karkas saja yang dapat masuk ke adalam mutu I seperti yang dipersyaratkan dalam SNI. Bukan hanya RPA saja yang terjadi hal seperti ini, beberapa industri pengolahan juga belum mampu menerapkan prinsip yang ada dalam HACCP. Sebagian besar yang telah menerapkan masih pada industri menengah besar sedangkan pada industri kecil masih sangat minim. Seperti penyediaan refrigerator pada penyimpanan produk susu pasteurisasi.
Di Indonesia, penanganan produk peternakan di tingkat pengecer masih perlu mendapat perhatian, terutama di pasar tradisional. Di pasar tersebut, ayam dan daging diperdagangkan dengan diletakkan di atas meja tanpa dilengkapi alat pendingin atau fasilitas lainnya. Jumlah mikroba yang cukup tinggi dan jenis mikroba berbahaya pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatirkan, terlebih lagi bila pemotongan dilakukan di pasar tradisional. Beberapa pedagang di pasar tradisional juga dilaporkan menggunakan formalin sebagai pengawet agar ayam tetap kelihatan segar, padahal formalin digolongkan sebagai bahan berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 722/Menkes/Per/ IX/88. Penemuan beberapa produk yang mengandung formalin ini sangat mencemaskan masyarakat sebagai konsumen. Konsumen merasa kurang aman, cenderung menghindari, menjadi lebih selektif dan mengurangi intensitas pembelian produk yang diberitakan mengandung formalin.

b. Pengolahan Hasil Perikanan
Subsektor perikanan merupakan andalan gizi bagi masyarakat kita. Selain itu juga dikenal sebagai ”functional food” karena kandungan omega-3. Namun di balik itu, berbagai kasus keracunan karena mengkonsumsi ikan telah menjadi berita yang tidak asing ditelinga kita. Pengolahan produk perikanan selama ini banyak menggunakan bahan berbahaya yang semestinya tidak digunakan pada penanganan produk perikanan seperti formalin, bahan pewarna tekstil, insektisida, bahan pemutih, boraks dan hidrogen peroksida.
Pengolahan produk perikanan harus dilakukan sesuai dengan standard untuk memperoleh produk yang terjamin mutu dan kualitasnya. Bahan baku dan bahan pembantu harus diketahui untuk mendapatkan proses pengolahan yang tepat. Jamianan mutu pada produk perikanan dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip HACCP pada saat pengolahan. Produsen pengolah dapat membuat tabel titik kritis dan bahaya selama penanganan produk perikanan tersebut.
Pengolahan ikan yang banyak dilakukan oleh industri kecil di Indonesia adalah penggaraman, pengeringan, pengasapan dan pemindangan sedangkan untuk pengalengan dan pembekuan baru dilakukan oleh industri besar. Pengolahan modern seperti pengalengan membutuhkan teknologi yang tinggi dengan bahan baku yang mempunyai mutu baik dan seragam. Hal ini tentu saja sulit untuk dipenuhi mengingat sebagian besar nelayan kita masih menggunakan teknologi sangat sederhana sehingga ikan tidak dapat tahan lama dan saat berada di darat ikan telah banyak yang rusak. Harga es yang cukup mahal juga menjadi hambatan para nelayan untuk dapat menghasilkan ikan dengan mutu yang baik.
Pengolahan ikan dengan cara tradisional tidak selamanya buruk. Konsep HACCP juga dapat diterapkan. Hal ini dapat dimulai dengan pemilihan bahan baku yang masih segar dan tidak rusak. Penambahan bahan berbahaya seperti nitrit pada saat penggaraman sebaiknya dihindari karena dapat bersifat toksik dan mereduksi protein. Pengeringan yang sering dilakukan sebaiknya pada suhu di bawah 70 C agar dapat menghindari ketengikan yang dapat merusak kualitas protein. Begitu pula dengan pengasapan, dilakukan pada saat kepekatan asap serendah mungkin agar menhasilkan produk yang aman karena pada saat pengasapan dapat menghasilkan Polisiklik Aromatic Hidrokarbon (PAH), N Nitroso dan Amina Aromatic Heterosiklik (HAA) yang bersifat karsinogen. Selain itu, ikan juga mempunyai racun alami yaitu histamin yang dapat meningkat apabila tidak disimpan pada suhu dingin. Jamur juga merupakan musuh utama pada penyimpanan ikan. Proses penyimpanan yang baik, di atas suhu optimum pertumbuhan jamur sangat diperlukan. Selain itu, berbagai kerusakan akibat fisik dan biologi sangat rentan pada produk hasil perikanan. Lalat merupakan musuh utama sehingga kebersihan dan penyimpanan yang baik harus dilakukan agar terhindar dari kontaminasi fisik dan biologi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat sanitasi dan higiene lingkungan pengolahan. Sanitasi dan higiene telah menjadi hal yang penting mengingat pada standard perdagangan internasional, hal tersebut menjadi alasan diterima atau tidaknya produk untuk masuk di suatu negara.

3. Pengolahan Hasil Pertanian
Berbagai metode serta sistem pengendalian keamanan pangan sebagai jaminan mutu dan keamanan pangan (food safely assurance) telah banyak digunakan dan dikembangkan oleh industri pengolahan makanan. Salah satu metode yang banyak dikembangkan dewasa ini adalah penerapan sistem HACCP yang merupakan suatu sistem manajemen yang menjamin mutu dan keamanan pangan berdasarkan konsep pendekatan yang rasional, sistematis dan komprehensif dalam mengidentifikasi dan mengontrol setiap bahaya yang berisiko terhadap mutu dan keamanan produk pangan. Sistem HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang mungkin berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya, baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung ataupun kondisi penyimpanan.
Pangan terbagi menjadi beberapa sumber, namun sebagian besar pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia bersumber dari biji-bijian yang mengandung banyak karbohidrat. Biji-bijian pada umumnya dipanen pada kandungan air cukup tinggi sehingga baik untuk pertumbuhan jamur. Pengeringan merupakan hal yang penting dalam usaha pengawetan karena dapat mencegah pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Pada saat pengolahan, besar kemungkinan jamur akan inaktif dan mati namun beberapa spesies mampu menghasilkan toksin yang tahan terhadap pemanasan. Untuk itu, praktek Good Agricultural Practices (GAP) sangat diperlukan untuk mencegah infeksi jamur aspergilus pada produk biji-bijian yaitu dengan perbaikan teknologi prapanen terutama pada pengairan stadium produktif, pemenuhan hara, dan pengendalian penyakit daun. Perbaikan teknologi pasca panen dapat dilakukan dengan pengeringan segera setelah panen, pemanenan pada saat yang tepat yaitu pada hari yang cerah, pemisahan pada biji yang terinfeksi terhadap biji utuh agar tidak terjadi penularan hifa oleh jamur.
Selain biji-bijian, buah dan sayur segar merupakan bahan pangan hasil pertanian yang dikonsumsi setiap hari. Standar EUREPGAP (European Good Agriculture Practice) merupakan salah satu standar keamanan produksi dan penanganan buah dan sayuran segar yang dianggap mendekati standar HACCP. Standar teknis yang ditetapkan dalam Eurepgap terdiri dari 1) Ketertelusuran, 2) Pencatatan, 3) Varietas dan sumber benih, 4) Riwayat lahan dan Pengelolaan lahan, 5) Pengelolaan tanah dan media tumbuh, 6) Pemupukan, 7) Irigasi, 8) Perlindungan tanaman, 9) Pemanenan, 10) Perlakuan pasca panen, 11) Pengelolaan limbah dan cemaran, daur ulang dan penggunaan ulang, 12) Kesehatan, Keamanan dan kesejahteraan pekerja, 13) Isu lingkungan, 14) Formulir pengaduan, 15) Audit internal. Sampai saat ini penerapan HACCP masih dalam tahap sosialisasi dan progam pelatihan untuk para stakeholders.
Keracunan merupakan kondisi yang tidak asing lagi bagi kita saat ini seperti kasus konsumsi pangan siap saji dan jajanan anak yang tidak higienis. Kondisi ini telah mencuatkan bahwa keamanan pangan tidak dapat dipandang sebelah mata. Keracunan banyak disebabkan karena mikrobiologis yang diikuti oleh penggunaan bahan kimia berbahaya dan bahaya fisik. Bahan pangan yang aman juga diperoleh dari bahan baku yang aman pula. Penggunaan standard mikrobiologis telah dilakukan oleh beberapa peneliti untuk melindungi konsumen dari bahaya keracunan.
Industri pangan merupakan industri yang mengolah hasil–hasil pertanian sampai menjadi produk yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Proses pengolahan diawali dengan penyiapan bahan yang diawali dengan sortasi, pengangkutan dan penyimpanan. Pada penyiapan bahan ini diperlukan proses pengendalian yang diperkirakan menjadi titik kritis bahaya kontaminasi. Seperti penggunaan air yang hampir seluruh proses pengolahan menggunakan air. Air ditengarai sebagai salah satu penyebab kasus keracunan akibat pangan. Kebutuhan untuk mengontrol secara rutin akan kualitas air terhadap kemungkinan polusi karena feses manusia. Bukan hal yang mengejutkan bagi kita adanya coliform, fekal coliform bahkan Escherecia coli yang mencemari sumber air karena sanitasi yang kurang memenuhi syarat.
Penggunaan bahan tambahan kimia pada produk pangan untuk meningkatkan kualitas pangan tidak dapat dihindari lagi terutama pada industri kecil. Penggunaan bahan tambahan pangan ini tidak akan merusak gizi asalkan tidak kadaluarsa. Ada 2 jenis pengawet yang diperbolehkan yaitu yang termasuk dalam Generally Recognize as Safe (GRAS) dimana zat ini tidak termasuk toksik seperti gula, garam dan madu. Sedangkan jenis yang lain adalah Acceptable Daily Intake (ADI) yang merupakan jenis yang telah diizinkan.
Proses pemasakan, penyajian dan pemanasan ulang merupakan titik kritis pada proses pengolahan pangan. Pemansan dilakukan untuk mengawetkan makanan berdasarkan pengaruh destruktifnya terhadap mikrobia. Pemasakan merupakan titik kritis yang harus dikendalikan terutama produk yang menggunakan santan. Penyimpanan pada suhu ruang dan pemanasan berulang sangat potensial menjadi titik dimana akan terjadi multipiklasi mikrobia sehingga dibutuhkan suhu yang cukup. WHO merekomendasikan lima aturan dalam pengolahan makanan yang diknal dengan five golden rules yaitu : aturan menghindari cara meletakkan makanan matang dan mentah dalam satu wadah, memasak makanan sampai benar-benar matang, tidak menyimpan makanan yang telah dimasak dalam waktu lama, memilih bahan makanan yang aman, dan menjaga kebersihan makanan.







IV. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. SIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil simpulan :
1. HACCP adalah suatu pendekatan sistem dalam pengamanan makanan. Dengan pendekatan HACCP ini, maka pengawasan keamanan makanan baik yang dikelola oleh usaha kecil menengah maupun besar yang dikelola, dapat lebih terjamin mutunya, karena setiap tahapan proses pengolahan dikendalikan risikonya dan bahaya yang mungkin timbul. Untuk menerapkan HACCP diperlukan peningkatan mutu sumber daya manu sia sehingga pendekatan sistem ini dapat mencapai sasaran. Hal ini karena mutu adalah senjata andalan untuk bersaing dalam pasar lokal, serta mampu menghadapi persaingan global.
2. Pelaksanaan kaidah-kaidah HACCP semakin menjadi suatu kebutuhan untuk para pembuat produk agribisnis, karena sistem HACCP merupakan suatu sistem pencegahan di mana resiko-resiko keselamatan yang potensial dapat diidentifikasi dan dikendalikan ketika suatu produk diproduksi. Selain itu HACCP juga menjadi suatu alat untuk menunjukkan keunggulan suatu produk dibanding produk pesaingnya.

4.2. SARAN
1. Konsep HACCP perlu disederhanakan dan disesuaikan dengan kondisi setempat agar lebih mudah diterapkan oleh pengusaha kecil dan menengah.
2. Pengusaha kecil dan menengah perlu melakukan peningkatan kualitas produknya agar dapat bersaing dalam menyongsong era perdagangan bebas.
3. Perlu ada pembinaan yang serius dan kontinyu dari instansi yang berwenang agar mutu dan keamanan pangan industri kecil dapat terjaga.








V. DAFTAR PUSTAKA.


ABUBAKAR, 2003. Mutu Karkas Ayam Hasil Pemotongan Tradisional dan Penerapan HACCP. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 22, No.1; 31-39
DEWANTI, R. DAN HARIYADI. 2006. Sistem Manajemen keamanan Pangan Modern Berbasis Resiko. Proceeding Seminar Nasional PATPI, 2-3 Agustus 2006. Yogyakarta; 127-132.
HERUWATI E.T, Pengolahan Ikan Secara Tradisional : Prospek dan Peluang Pengembangan. 2002. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 21, No. 3; 92-99

SUDARMAJI. 2005. Analisis Bahaya Dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point ). Jurnal Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga, Vol.1, No.2; 183-190

WIDODO dan S.Y. RUDIMAH. 2006. Respon Konsumen Terhadap Pemberitaan Ditemukannya Formalin Pada Produk Pangan Olahan. Jurnal